Pemilu yang Mensejahterakan Sebagai Instrument Demokrasi.

Pemilihan umum adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemilihan umum sebagai perwujudan kedaulatan harus diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa. Selain itu, penyelenggaraan pemilihan umum yang damai, berintegritas, dan pada akhirnya dapat menyejahterakan kehidupan berbangsa dan bernegara wajib menjadi pemahaman bersama, baik oleh peserta pemilu, penyelenggara pemilu, masyarakat umum, dan kelompok-kelompok kepentingan yang lain.

Bagi sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, penyelenggaraan pemilihan umum yang damai dan berintegritas adalah modal dasar bagi eksistensi pemerintahan pasca-pemilihan umum. Pemilihan umum yang damai berintegritas akan melahirkan  kepercayaan dan dukungan publik yang merupakan syarat yang wajib ada dalam sebuah upaya mewujudkan good governance. Pemilihan umum yang damai dan berintegritas wajib menjadi komitmen semua pihak yang berwenang. Karena dalam sistem demokrasi, pemilihan umum merupakan sarana formal suksesi kepemimpinan, oleh karena itu pemilihan umum harus diselenggarakan dengan prosedur yang jelas, transparan, dan akuntabel sehingga dapat melahirkan pemimpin-pemimpin dan wakil rakyat yang mampu memperjuangkan dan melahirkan produk perundangan yang mendukung kebijakan pro-rakyat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemilihan umum di Indonesia telah mengalami perkembangan. Dimulai pada pemilihan umum tahun 1955 yang merupakan pemilihan umum pertama dan dikenal sebagai pemilihan umum paling demokratis sebelum pemilihan umum tahun 1999, kemudian pemilihan umum pada Orde Baru yang berlangsung sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, kelompok pemilihan umum pada era ini berlangsung secara berkelanjutan tetapi dicurigai mengandung banyak kecurangan dan pemilihan  umum tahun 1999 hingga 2014 yang dikenal sebagai pemilihan umum demokratis. Pemilihan umum selama periode orde baru dianggap tidak dapat dijadikan ukuran pemilu yang demokratis, sebagaimana dikatakan William Liddle : “ Pemilu-pemilu Orde Baru adalah pengukur yang tidak sempurna kehendak politik rakyat. Pemilihan-pemilihan itu mencerminkan proses electoral yang dikelola serta dikontrol sangat ketat hasil rancangan pemerintah- yang kekuasaannya terutama bersal dari dukungan Angkatan Bersenjata – untuk memperlihatkan keabsahannya kepada rakyatnya dan dunia luar, sementara pada saat kebersamaan menghindari sejauh mungkin pertarungan yang nyata di antara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing.[1]

Di era Orde Baru, pelaksana Pemilu dan pengawas Pemilu sangat memihak partai pemerintah sehingga pelaksanaan tugas pelaksana pemilu sangat bias. Masalah lainnya terletak pada kekuasaan hegemonik pemerintah atas kekuasaan legislatif maupun judikatif yang demikian besar di era Orde Baru. Dengan begitu, mulai dari peraturan perundang-undangan bidang politik (Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, serta undang-undang susunan dan kedudukan MPR/DPR/DPD) sudah sangat menguntungkan salah satu kekuatan politik peserta Pemilu (yaitu Golongan Karya). Begitu pula pelaksanaan tugas penegak hukum juga sangat dipengaruhi oleh pengarahan pemerintah Orde Baru yang menjadikan pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama yang sangat membutuhkan stabilitas politik.

Pemilihan umum tahun 1999 dan Pemilu 2004 oleh banyak kalangan-dengan menggunakan beberapa indikator – dapat dianggap sebagai pemilihan umum paling demokratis. Dikarenakan pada era ini pula kekuasaan pemerintah tidak lagi hegemonic di atas kekuasaan lainnya, seperti yudikatif. Sementara pelaksana dan  pengawas pemilu juga tidak lagi mewakili kepentingan pemerintah seperti era Orde Baru. Pemilihan umum tidak lahir tanpa tujuan tetapi untuk memilih para wakil rakyat dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang dari, oleh, dan untuk rakyat. Hubungan antara demokrasi, lembaga perwakilan dan pemilihan umum dapat dikaitkan dengan pendapat Arend Lijphart yang menyatakan : “ The literal meanings of democracy – government by the people – is probably also the most basic and most widely used definition. The one major amendment that is necessary when we speak of democracy at the national level in modern large – scale nation states is that the acts of government are usually performed not directly by the citizines but indirectly by representatives whom they elect on a free end equal basis. Although elements of direct democracy can be found even in some large democratic states, democracy is usually representative democracy : government by the freely elected representatives of the people.

Oleh karena itu, akan dibahas mengenai sejarah pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955, pemilihan umum pada era Orde Baru tahun 1971-1997, pemilihan umum tahun 1999, pemilihan umum tahun 2004, pemilihan umum tahun 2004-2014, kerangka pemilihan umum tahun 2019 yaitu pemilu serentak dengan lima kotak, serta akan dijelaskan syarat pemilu yang damai-berintegritas dan pemilu yang menyejahterakan sebagai instrument demokrasi.

Kerangka Hukum Pemilihan Umum Tahun 2019

Pelaksanaan Pemilu 2019 menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Rancangan undang-undang Pemilu itu disetujui Rapat Paripurna DPR-RI pada 21 Juli 2017 yang selanjutnya disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017. Ditegaskan dalam undang-undang ini, pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. [1]Di dalam kerangka hukum Pemilu, di samping UU No.7 Tahun 2017 juga terdapat beberapa peraturan yang menjadi landasan pelaksanaan, pengawasan, penegakan hukum, dan penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu. Peraturan tersebut meliputi Peraturan Komisi Pemilihan Umum, Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum, Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Peraturan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Agung.

Syarat Mewujudkan Pemilihan Umum yang Damai dan Berintegritas

Dalam rangka mewujudkan pemilihan umum yang berintegritas maka negara wajib hadir untuk memberikan perlindungan dalam rangka memperkuat partai politik agar tidak dikangkangi oleh para pemodal. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh negara adalah memperbesar anggaran / subsidi negara kepada partai politik, agar lebih kuat dan lebih mandiri. Selain itu, politik kebudayaan dalam rangka mewujudkan pemilu yang damai perlu terus dipupuk dan dikembangkan, baik melalui jalur suprastruktur maupun infrastruktur. Jalur suprastruktur dijalani dengan penguatan konsep-konsep politik kebudayaan melalui berbagai cara, seperti Pendidikan, pelatihan, seminar-seminar, pengajian, khutbah, kerja nyata politik kebudayaan melalui karya-karya yang dapat dirasakan oleh segenap masyarakat.

Sedangkan jalur infrastruktur dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga kebudayaan, lembaga seni masyarakat, penguatan Lembaga negara dalam hal sosialisasi dan internalisasi politik kebudayaan. Arah pengembangan dan penguatan politik kebudayaan adalah mengakui realitas keragaman, dan mentransformasikan keragaman tersebut sebagai kekuatan positif dalam rangka mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana diketahui bersama, pemilu yang berjalan tanpa adanya kekerasan, baik fisik maupun non fisik diselenggarakan sesuai prinsip-prinsip yang mendasarinya, maka kepercayaan masyarakat semakin tebat serta menambah keyakinan publik akan lahirnya pemerintahan yang baik, bersih, dan membawa kepada kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, untuk mewujudkan pemilihan umum yang damai harus dilaksanakan dengan mematuhi etika dan hukum. Etika tidak dapat dipisahkan dengan hukum, karena hukum adalah wujud dari jalinan nilai yang bertujuan mewujudkan keserasian dan kesinambungan antara faktor nilai objektif dan nilai subjektif. Jalinan nilai yang bersatu dalam hukum, yaitu nilai keadilan dalam hubungan antara individu di tengah pergaulan hidup. Selain itu, standar pemilu yang demokratis salah satunya ditandai oleh adanya kerangka hukum yang mampu menyediakan kesempatan bagi setiap pemilih, kandidat dan partai politik untuk menyampaikan komplain dengan pihak penyelenggara yang berkompeten atau ke pengadilan ketika pelanggaran hak kepemiluan terjadi.

Pemilu sebagai wadah peralihan sekaligus pelaksanaan kekuasaan tertinggi negara yang berada di tangan rakyat, harus dilakukan secara fair (adil). Kehendak atau suara rakyat dalam pemilu tidak boleh sama sekali dikhianati dengan cara-cara membelokkannya menjadi kehendak elite secara curang, baik melalui tipu daya penyusunan aturan pemilu maupun melalui pelaksanaan pemilu dengan menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan menurut aturan hukum dan moral. Terhadap kemungkinan kecurangan pemilu sehingga penyelenggaraan pemilu berjalan secara tidak fair, langkah bijak yang harus dilakukan adalah pahami regulasi penyelenggaraan pemilu secara baik, pahami tahapan-tahapan penyelenggaraan dengan baik, pahami mekanisme mengadukan, dan siapa yang punya wewenang mengenai objek perkara yang dihadapi, dan jalani seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu berdasarkan aturan yang berlaku.

Mengingat bahwa penyelenggaraan kepemiluan berjalan dalam sebuah sistem, maka mewujudkan profesionalitas penyelenggara juga harus dilakukan dalam sebuah sistem, mulai dari sistem pola rekrutmen, sistem peningkatan kapasitas penyelenggara pemilu melalui kesejahteraan, pendidikan keterampilan penguasaan tugas fungsi, pengelolaan pemilu (manajemen), dan penguatan aspek kepemimpinan serta sistem pengangkatan profesionalitas penyelenggara pemilu. Guna menjaga profesionalitas penyelenggara pemilu, perlu kiranya masing-masing lembaga penyelenggara pemilu memiliki kode etik bagi aparaturnya, baik untuk jajaran pejabat structural dan pegawai sekretariat.

Baca juga: Cara Kampanye Politik Unik di Indonesia

Syarat Mewujudkan Pemilihan Umum yang Menyejahterakan Rakyat

Pelaksanaan pemilu damai dan berintegritas harus seirama dengan kesuksesan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun kesuksesan mewujudkan kesejahteraan rakyat dari Sabang sampai Merauke itu akan tercapai jika telah berjalannya pemerintahan yang efektif. Hal tersebur dapat ditempuh dengan cara menciptakan lapangan kerja baik di desa maupun kota bagi sumber daya manusia Indonesia. Selain itu, pertumbuhan ekonomi harus berkorelasi dengan pemerataan, keadilan, penyerapan tenaga kerja, dan pengentasan kemiskinan, pengentasan keterbelakangan, pengentasan korupsi yang merajalela, dan sebagainya.

Konsep pembangunan Indonesia sejahtera sebenarnya langkah-langkahnya sudah dirintis pada saat penyusunan “Visi Indonesia 2020” melalui TAP MPR No VII/MPR/2001 tentang visi Indonesia masa depan yang religious, manusiawi, bersatu, demokratis, dan bebas KKN. Dan target pencapaian hasilnya seharusnya terlihat pada tahun 2020, jika pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu bekerja dengan konsisten terhadap kebijakan struktur follow function dan money follow function. Di mana uang dialokasikan sesuai jumlah dan posisi di mana rakyat berada, yaitu daerah atau desa-desa, bukan difokuskan di pusat atau kementerian di Jakarta.

Kesimpulan

Pemilihan umum sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi, telah dilaksanakan oleh Negara Republik sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019. Bagi Indonesia, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan para wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam rangka menjamin terciptanya cita-cita dan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk mewujudkan pemilihan umum yang damai, berintegritas dan menyejahterakan maka harus ditempuh dengan beberapa syarat yaitu negara wajib hadir untuk untuk memberikan perlindungan dalam rangka memperkuat partai politik agar tidak dikangkangi oleh para pemodal, memperkuat strategi politik kebudayaan, patuhi etika dan hukum, complain mechanism memadahi, menjalankan proses pemilu secara fair, mewujudkan penyelenggara pemilu yang professional dan meningkatkan pemerintahan yang efektif demi menyejahterakan rakyat. 

Categories:

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *