E-Voting Di Berbagai Belahan Dunia

Teknologi e-voting muncul pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1889. Di tahun itu, Jacob H. Myers mematenkan mesin pemilihan umum pertama yang diberi nama Lever Voting Machine. Seiring berjalanya waktu, mesin tersebut kemudian disebut dengan Myers Automatic Boots. Mesin ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penggelembungan suara, mempercepat proses perhitungan suara, dan mengurangi suara yang tidak sah. 

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai pelopor dalam pengembangan e-voting di Indonesia mendefinisikan electronic voting (e-voting) sebagai suatu metode pemungutan suara dan penghitungan suara dalam suatu pemilihan dengan menggunakan perangkat elektronik. Secara rinci dan operasional, BPPT mendefinisikan sistem e-voting sebagai suatu sistem yang memanfaatkan perangkat elektronik dan mengolah informasi digital untuk membuat surat suara, memberikan suara, menghitung perolehan suara, mengirim hasil perolehan suara, menayangkan perolehan suara, memelihara dan menghasilkan jejak audit (Jayadi Nas, Zulfikar, & IP, 2019).

Jadi e-voting pada hakikatnya adalah pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan secara digital mulai dari proses pendaftaran pemilih, pelaksanaan pemilihan, penghitungan suara, dan pengiriman hasil suara. Penerapan e-voting diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang timbul dari pemilu yang diadakan secara konvensional. Meskipun begitu, e-voting akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda dalam setiap negara. Berikut beberapa dinamika implementasi e-voting di beberapa negara:

1. Amerika Serikat

Di negara Paman Sam ini, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan open-source untuk sistem pemilihan umum elektronik. Hal ini dilakukan dengan pedoman teori sistem, selain itu pendekatan tradisional juga dikedepankan untuk menjaga pemilihan umum tetap jujur dan meningkatkan transparansi yang tinggi. Beberapa hasil penelitian juga menemukan fakta bahwa terdapat penolakan di antara pakar spesialis keamanan komputer terhadap ketidakjelasan pendekatan keamanan pada sistem pemilihan umum elektronik. Dalam hal ini, teori keandalan tinggi tidak menunjukkan keandalan yang tinggi dapat dengan mudah diadopsi pengguna sistem pemilihan elektronik. 

2. Belgia

Belgia adalah salah satu negara yang memiliki koneksi internet tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Oleh sebab itu, Belgia tidak mungkin melakukan pemungutan suara jarak jauh dalam waktu yang dekat. Belgia memiliki sekitar sepertiga penduduknya saat ini mampu mengakses internet. Salah satu tujuan dalam penerapan e-voting adalah pengurangan jumlah panitia atau pihak yang bertugas untuk mengelola dan mengendalikan pendaftaran pemilih. Namun yang terjadi di Belgia malah sebaliknya, terjadi penambahan jumlah panitia pemungutan suara yaitu sekretaris tambahan yang memiliki pengetahuan tentang Teknologi Informasi. Selain itu tujuan lain dari penerapan e-voting adalah pengurangan biaya. Hal ini tampaknya masih belum tercapai di Belgia meskipun belum ada angka pasti yang pernah dirilis. Departemen Dalam Negeri Belgia memperkirakan bahwa biaya pendaftaran e-voting menghabiskan sekitar 80 Euro, tetapi biaya penyusutan hanya diasumsikan selama sepuluh tahun, dan mungkin tidak termasuk biaya bantuan teknik dan perbaikan. Oleh karena itu, penelitian menyimpulkan bahwa pendaftaran pemungutan suara elektronik lebih mahal daripada sistem pemilihan umum konvensional di Belgia. 

3. Estonia

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sikap publik di Estonia terhadap e-voting sangat baik dan positif. Tidak ada kasus yang ditemukan mengenai pembelian suara dalam sistem e-voting dan hal ini sangat berbeda dengan pemilihan secara konvensional. Di Estonia, memberikan suara dalam privasi dalam konteks pemungutan suara dengan internet tanpa pengawasan jarak jauh adalah hak, bukan kewajiban. Legalitas dan legitimasi dari seluruh proses pemilihan belum dipertanyakan karena adanya alasan politik. Salah satu penjelasan yang masuk akal untuk itu adalah debat publik tentang konsep prinsip-prinsip kejujuran e-voting yang harus dipastikan terus berlanjut. E-voting tidak mengubah perilaku pemungutan suara melalui orang-orang yang pada dasarnya tidak melakukan pemilihan, tetapi hal itu memberikan kesempatan partisipasi kepada orang-orang yang tidak punya waktu atau sebuah komitmen untuk pergi ke tempat pemungutan suara. 

4. Turki 

Dalam e-voting, verifikasi adalah proses memastikan apakah sistem e-voting sesuai dengan spesifikasi desain dan persyaratan sistem yang ditentukan secara formal, seperti ketangguhan dan keadilan serta validasi yang menjadi proses pengecekan sistem e-voting untuk memenuhi standar penggunaan yang dimaksudkan dan memenuhi persyaratan pengguna seperti akurasi dan kelayakan. Verifikasi juga termasuk peninjauan langkah kerja sementara dan keluaran sementara selama proses e-voting untuk memastikan mereka diterima. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh Cetinkaya & Cetinkaya (2007), terlihat bahwa hasil verifikasi dan validasi belum dibahas dengan benar dalam e-voting di Turki, hal ini ditunjukkan dengan definisi yang tidak memadai dan kurang jelas. 

5. Belanda

Praktik penerapan e-voting di Belanda memiliki sejumlah masalah dan bahkan mendapat penolakan dari masyarakat dan membuat kepercayaan dalam sistem e-voting di Belanda menurun. Akan sangat sulit untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kembali. Tanpa dukungan ini, legitimasi dari legislator atau pemimpin yang akan dipilih berkurang. Karena itu sangat penting untuk menyadari bahwa e-voting dapat bekerja di satu negara tidak secara otomatis berarti cocok untuk semua negara. Dalam hal ini, keberhasilan e-voting tidak hanya tergantung pada tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah, namun juga tingkat kepercayaan kepada perusahaan yang memasok mesin-mesin yang akan digunakan saat pemilihan umum. Jika pemerintah atau perusahaan dipandang berafiliasi terhadap suatu partai atau kandidat tertentu, penggunaan mesin e-voting kemungkinan besar akan memicu kecurigaan akan kecurangan dalam pemilihan umum. Di negara Belanda, ada kecenderungan menurunnya kepercayaan menjadi sebuah tren. Tren ini tidak hanya terlihat dalam kasus e-voting, namun juga dengan solusi teknis lainnya. Dalam beberapa kasus, pemerintah ingin memperkenalkan kartu chip sebagai alat pembayaran dalam sistem transportasi umum. Banyak orang yang takut bahwa hal ini dapat membahayakan privasi, terutama setelah beberapa ahli membuktikan bahwa terdapat kemungkinan untuk meretas dan membaca isi chip tersebut. 

Baca juga: Problematika Pelaksanaan E-Voting

Kesimpulan

Implementasi kebijakan pemilihan umum dengan e-voting akan menghadirkan dampak yang berbeda di setiap negara. Hal ini ditentukan oleh kesiapan dan kebutuhan negara tersebut untuk menerapkan e-voting. Meskipun terdapat berbagai keuntungan dengan menerapkan sistem e-voting tersebut, penggunaan e-voting harus berdasarkan dengan pertimbangan objektif, yakni kesiapan penyelenggara pemilu mulai dari pemerintah, masyarakat, sumber dana dan teknologi, serta pihak terkait lain yang benar-benar harus dipersiapkan dengan matang. Sehingga, pilihan untuk menerapkan teknologi ini benar-benar menjadi pilihan yang tepat untuk sistem pemilihan umum di negara masing-masing.

Categories:

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *